Palu, buanapagi.com – Sebanyak 16 hektare lahan garam rakyat di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah, terancam tak berproduksi lagi. Padahal, pada 2024 lalu, produksi garam Talise mencapai 300 ton per tahun. Namun, memasuki awal hingga akhir 2025, produksi garam Talise justru menurun drastis.
Beberapa pakar menyebutkan, salah satu pemicu turunnya produksi garam Talise adalah karena cuaca yang tidak normal dan juga masalah infrastruktur yang belum memadai. Akibatnya, ratusan petani garam yang menggantungkan hidup dari pengolahan garam terancam menganggur.
Ketua Kelompok Garam Talise (Garata), Nawir (65) mengatakan, selain kendala cuaca, petani garam juga terkendala dukungan peralatan.
“Saat ini garam yang dijual dalam karung di ladang garam Jalan Yos Sudarso bukan lagi garam olahan dari ladang garam Talise. Melainkan garam dari Makassar dan Surabaya. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah cuaca.” Kata Nawir, saat ditemui di kediamannya, Rabu, (4/6/2025).
Menurutnya, selain faktor cuaca, petani garam juga mengeluhkan harga jual garam yang masih dikuasai tengkulak dan rentenir.
“Untuk harga per karung 50 kg, harganya bisa dipatok Rp50 ribu hingga Rp60 ribu ke penjual, sedangkan harga beli dari petani jauh lebih murah.” Jelas Nawir
Yang lebih parah, kata Nawir, bantuan modal yang datang justru lebih menyasar pengusaha garam, bukan petani. Alhasil, muncul kendala baru, yakni pemberdayaan hanya untuk pengusaha, tidak menyentuh langsung petani garam Talise.
Secara teknis, kata Nawir, para petani sudah tahu bagaimana cara menghasilkan proses produksi garam yang berkualitas baik. Namun kendala yang dihadapi adalah biaya yang dibutuhkan untuk menyiapkan sarana dan prasarana.
“Misalnya pengadaan plastik geomembran atau HDPE/high density polyethylene, karena plastik geomembran bermanfaat untuk membantu mempercepat penguapan air laut dan meningkatkan kualitas garam,” jelasnya.
Selain itu, untuk menyedot dan menyalurkan air laut ke ladang garam dibutuhkan Alkon atau mesin penyedot.
Kemudian untuk mengangkut hasil panen garam, pihaknya membutuhkan alat berupa gerobak motor atau disebut Kaisar.
Untuk memenuhi semua kebutuhan teknis tersebut, kata Nawir, diperlukan bantuan permodalan bagi para petani garam.
Oleh karena itu, Nawir berharap program koperasi desa dan Kabupaten Merah Putih yang digagas Presiden Prabowo Subianto dan Wakilnya Gibran Rakabuming Raka dapat membantu menghidupkan kembali aktivitas para petani garam di Sulawesi Tengah, khususnya di Kota Palu.
Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah, melalui bagian Pemberdayaan, Sita menjelaskan, pihaknya telah berupaya meningkatkan pemberdayaan petani garam Talise, di antaranya dengan memberikan bantuan sarana tambak garam.
“Sejak tahun 2016 sudah ada intervensi dari DKP sendiri, khususnya untuk bantuan pemberdayaan bagi petani garam.” Kata Sita saat ditemui di ruang kerjanya.
Menurutnya, ada satu metode pemberdayaan yang sangat efektif dan cocok untuk petani garam di Kota Palu, yakni metode panel atau rumah garam.
“Rumah garam ini bermanfaat agar petani garam tidak terganggu oleh kondisi cuaca saat panen, terutama saat hujan.” Katanya.
Kemudian metode kedua, kata Sita, yakni penggunaan geomembran pada kelompok tambak. Geomembran untuk meningkatkan kualitas kristal garam
“Sebenarnya potensi di Kota Palu sangat besar, karena ini tambak garam yang sudah ada sejak lama. Sudah puluhan tahun di Kota Palu,” jelasnya.
Sementara itu, untuk kelompok restorasi Talise yang tercatat pada tahun 2024, ada sekitar 16 kelompok dan 152 RTP.
Ia menambahkan, untuk meningkatkan kapasitas masyarakat petani garam, petani garam harus dibekali dengan kemampuan manajemen garam yang baik.
“Jadi memulai usaha tambak garam, bagaimana mengajarkan mereka cara menghasilkan garam bersih, berkualitas, dan memiliki nilai NASL yang tinggi.” terangnya (bp/r)